Selasa, 12 Mei 2020

5 TOKOH NASIONAL DIBIDANG PENDIDIDKAN





1.Ki Hajar Dewantara






Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan nasional sekaligus menyandang bapak pendidikan. Nama asilnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Tapi pada tahun 1922 lebih dikenal menjadi Ki Hadjar Dewantara. Beberapa sumber menyebutkan dengan bahasa Jawanya yaitu Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantara lahir di daerah Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959 ketika umur 69 tahun. Selanjutnya, bapak pendidikan yang biasa dipanggil sebagai Soewardi merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, politisi, kolumnis, dan pelopor pendidikan bagi bumi putra Indonesia ketika Indonesia masih dikuasai oleh Hindia Belanda. Ki Hajar Dewantara merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu organisasi pendidikan yang memberikan kesempatan untuk para pribumi agar bisa mendapatkan hak pendidikan yang setara seperti kaum priyayi dan juga orang-orang Belanda. Ki Hajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei kini diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara punya tiga semboyan yang terkenal yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho yang berarti di depan memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang berarti di tengah memberikan semangat dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberikan dorongan.


Diambil tanggal 12 mei 2020 pukul 14:00




2.R.A Lasmidiningrat




Lasminingrat adalah anak Raden Haji Moehammad Moesa, seorang perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda abad ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843. Lasminingrat kecil harus berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa Belanda. Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di Pendopo Kabupaten Garut. Di tahun itu pula, ia menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk menggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari ayahnya. Adik Lasminingrat, yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang penulis Sunda. Buku-buku Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan. Pada 1875 ia menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin


Diambil tanggal 12 mei 2020 pukul 14:00








3.Roehana Koeddoes



Ialah Roehana Koeddoes yang dilahirkan di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884. Jurnalis wanita pertama di Indonesia ini dilahirkan dari pasangan Mohamad Rasjad Maharadja Soetan, seorang hoofdjaksa atau jaksa kepala, dan Kiam.
Ia sendiri keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato, salah satu keluarga terpandang di Koto Gadang yang memiliki jalur matrilineal tertua. Sulung dari 26 bersaudara ini juga kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama RI, bibi penyair terkenal Chairil Anwar, dan juga sepupu H. Agus Salim.Roehana hidup di era yang sama dengan Kartini, yang mana akses perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang baik seperti laki-laki sangat dibatasi.Ia sendiri tidak bisa mendapatkan pendidikan secara formal, namun ia rajin belajar dengan ayahnya yang selalu membawakannya bahan bacaan dari kantor.
Semangat belajar dan keingin tahuannya yang tinggi membuatnya cepat menguasai materi yang diajarkan. Di usia yang masih sangat belia, ia sudah bisa menulis dan membaca, serta berbahasa Belanda.  Ia juga mempelajari abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu.Pekerjaan ayahnya sebagai jaksa kepala yang menuntut harus tinggal berpindah-pindah, begitu pula dengan Roehana.
Ketika ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, ia belajar banyak hal dari tetangganya yang juga seorang jaksa, Lebi Rajo nan Soetan dan istrinya Adiesah.Karena pasangan ini belum memiliki momongan, ia mendapat perhatian dan kasih sayang dari tetangga.Ia diajari membaca, menulis, dan merajut.  Merajut sendiri di era itu hanyalah keahlian yang dimiliki kaum perempuan Belanda.
Tak hanya membaca berbagai buku politik, sastra, dan hukum milik sang ayah, ia juga melahap berbagai buku milik keluarga Lebi Rajo nan Soetan. Namun, pembelajaran tersebut tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, ayahnya kembali dipindah tugaskan.  Kali ini ke Simpang Tonang Talu. Untuk melengkapai bacaan Roehana, ayahnya sengaja berlangganan surat kabar anak-anak terbitan Medan, Berita Kecil.Di tempat baru ini, Roehana memulai kebiasaannya membaca buku dengan suara lantang.Kebiasaan yang dilakukannya di tempat umum ataupun teras rumah awalnya dianggap aneh dan membuat heran orang sekelilingnya.
Namun, lambat laun, suara lantangnya menarik para tetangga untuk ikut belajar membaca dan menulis. Inilah yang menjadi awal jalan perjuangannya.


Diambil tanggal 12 mei 2020 pukul 14:00




4.KH Hasyim Asy’ari



KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak.
Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin.Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman.
 Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya.Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km.
Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah.Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.


Diambil tanggal 12 mei 2020 pukul 14:00



5.Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso 





Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso (lahir di Wonosobo, 7 September 1907 – meninggal di Jakarta, 9 November2004 pada umur 97 tahun) adalah seorang pakar psikologi Indonesia. Ia memelopori berdirinya Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan menjabat sebagai dekan pertama fakultas tersebut.
Ia menempuh pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Inlandsche School antara tahun 1912 dan 1920; Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelangpada tahun 1920 hingga 1923; MAS-B di Yogyakarta pada 1923 hingga 1926; Indische Arts STOVIA pada tahun 1926 hingga 1932; dan Geneeskunde School of Arts Batavia Sentrum pada 1932 hingga 1934.
Slamet Iman Santoso menduduki posisi Pembantu Rektor I ketika Sjarif Thajeb (1962–1964) dan Sumantri Brodjonegoro (1964–1973) menjabat sebagai Rektor UI. Menyusul kematian Sumantri Brodjonegoro pada tahun 1973 ketika tengah menjabat sebagai rektor, Slamet Iman Santoso ditunjuk menjadi Pejabat Rektor UI. Ia mengakhiri jabatannya pada tahun 1974, ketika jabatan itu beralih ke Mahar Mardjono.
Penghargaan yang telah didapatkannya, yaitu sebagai penerima bintang Mahaputra Utama III pada tahun 1973 dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989, dan penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo. Selanjutnya, beliau juga pernah menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan pada tahun 1937-1938.
Slamet Iman Santoso dikenal juga sebagai orang pertama yang mengusulkan gagasan di dunia pendidikan tentang pentingnya satu acuan yang sama untuk semua jenjang pendidikan di Indonesia. Gagasan tersebut beliau sampaikan pada 1979 hingga 1981.
Slamet Iman Santoso juga pernah menjadi salah seorang tokoh yang memberikan kritik terhadap minimnya gaji guru yang diberikan negara. Selain gagasan dan kritik di dunia pendidikan, beliau juga berperan di dalamnya sebagai salah seorang perintis program penerimaan mahasiswa baru melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang kini dikenal dengan SNMPTN.
Slamet Imam Santoso meninggal pada usia 97 tahun pada Selasa, 9 November 2004. Istri beliau telah meninggal lebih dulu pada November 1983.


Diambil tanggal 12 mei 2020 pukul 14:00



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

5 PHOTOGRAFER INDONESIA YANG SUDAH GO INTERNASIONAL lihat bagaimana cantiknya karya" mereka

1 .TIMUR ANGIN Lahir tahun 1978, Timur Angin mulai terjun ke dunia fotografi di Jogjakarta tahun 1998. Foto tersebu...